Anggota Kelompok 4 :
Fanny Wardiyanti – 2321321
Firda Fauziah – 23213492
Gianita Safitri – 23213716
Hilma Azkiya – 24213125
1.
Definisi
Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua
orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur
perikatan ada empat, yaitu :
1. Hubungan hukum ;
2. Kekayaan ;
3. Pihak-pihak, dan
4. Prestasi.
Apakah maksudnya? Maksudnya ialah terhadap hubungan
yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu
pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar
hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau
dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum
mempunyai ukuran- ukuran (kriteria) tertentu.
Hak perseorangan adalah hak untuk menuntut prestasi
dari orang tertentu, sedangkan hak kebendaan adalah hak yang dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Intisari dari perbedaan ini ialah hak
perseorangan adalah suatu hak terhadap seseorang, hak kebendaan adalah hak
suatu benda. Dulu orang berpendapat bahwa hak perseorangan bertentangan dengan
hak kebendaan. Akan tetapi didalam perkembangannya, hak itu tidak lagi
berlawanan, kadang- kadang bergandengan, misalnya jual- beli tidak memutuskan
sewa (pasal 1576 KUH Perdata).
2.
Sumber Hukum Perikatan
Sumber hukum perikatan adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian ;
2. Undang- undang, yang dapat
dibedakan dalam :
a. Undang- undang semata- mata
b. Undang- undang karena perbuatan
manusia yang Halal ;
c.
Melawan hukum;
3. Jurisprudensi;
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis;
5. Ilmu pengetahuan hukum.
3.
Macam-macam Perikatan
Bentuk perikatan yang paling sederhana ialah suatu
perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang
seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling
sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut:
a. Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu
perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih
belum tentu akan atau tidak terjadi. Contoh misalnya: saya mengijinkan seorang
mendiami rumah saya, dengan ketentuan perjanjian itu akan berakhir bila secara
mendadak saya diperhentikan dari pekerjaan saya.
Oleh undang undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal
jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang
mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak
mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau
kesusilaan. Dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik,
kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu syarat
pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266)
b. Perikatan yang Digantungkan Pada
Suatu Ketetapan Waktu (Tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan
suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa
yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu
hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan
datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.
c. Perikatan yang Membolehkan Memilih
(Alternatief)
Ini adalah suatu perikatan dimana
terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang
diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan
memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah
d. Perikatan Tanggung-Menanggung
(Hoofdelijk atau Solidair)
Suatu perikatan dimana beberapa
orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang
yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih
suatu piutang dari satu orang, tetapi perikatan semacam ini sedikit sekali
dalam praktek.
e. Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang
Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau
tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya
tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu
perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan,
barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan
oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu
pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli
warisnya.
f. Perikatan dengan Penetapan Hukuman
(Strafbeding)
Untuk mencegah jangan sampainya si
berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak
dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia
tidak menepati kewajiabannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu
jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang
sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian
itu.
4. Ingkar Janji (Wanprestatie)
wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada tiga
macam, yaitu :
– Debitur sama sekali tidak memenuhi
perikatan;
– Debitur terlambat memenuhi
perikatan;
– Debitur keliru atau tidak pantas
memenuhi perikatan.
Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur
dikatakan tidak memenuhi perikatan karena ketika mengadakan perjanjian pihak-
pihak tidak menentukan waktu untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk
melaksanakan
prestasi ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya.
a. Pernyataan Lalai (ingebreke stelling)
Akibat yang sangat penting dari
tidak dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya
rugi dan bunga yang dideritanya.
Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang- undang menentukan bahwa
debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke
stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk
sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” (pasal
1238 KUH Perdata). “ yang berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah
atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demikian perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang akan harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan” (pasal 1238 KUH Perdata)
5.
Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya
suatu perikatan, yaitu:
a. Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan setiap
pemenuhan perjanjian secara suka rela. Yang wajib membayar suatu utang bukan
saja si berhutang, tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung.
Menurut pasal 1332 KUH Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh
seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak
ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika
ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang.
b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti
Penyimpanan Atau Penitipan Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus
dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran.
c. Pembaharuan Hutang Atau Novasi
Menurut pasal 1413 KUH Perdata ada
tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu,
yaitu:
1. Apabila seorang yang berhutang
membuat perikatan hutang baru guna orang yang akan mengutangkan kepadanya, yang
menggantikan hutang yang lama dihapuskan karenanya.
2. Apabila seorang yang berhutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang
dibebaskan dari perikatannya.
3. Apabila sebagai akibat dari suatu
perjanjian baru seorang kreditut baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang
lama, terhadap siapa si beruhutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi yang disebutkan pada (1)
dinamakan novasi obyektif karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian,
sedangkan yang disebutkan pada (2) dan (3) dinamakan novasi subyektif karena
yang diperbaharui disitu adalah subyek-subyeknya atau orang-orangnya dalam
perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (2) maka novasi itu dinamakan subyektif
pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (3) novasi dinamakn
subyektif aktif.
d. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Ini adalah suatu cara penghapusan
hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara
timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu
sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara
kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 KUH
Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi
demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan
kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat
hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang
sama.
e. Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai orang
berpiutang dan orang yang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang dihapuskan.
f. Pembebasan Hutan
Apabila si berpiutang dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan hapus,
perikatan hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak dapat
diprasangkakan, tetapi dibuktikan
g. Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi
obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,
sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Kebatalan/Pembatalan
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat
dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian
yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai
digugat dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan
tentang kekurangannya perjanjian itu.
i.
Berlakunya
Suatu Syarat-Batal
Dalam hukum perjanjian pada azasnya
syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu
syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula
seolah-oleh tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 KUH
Perdata.
j.
Lewatnya
Waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, yang
dinamakan daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya utnuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut
pasa 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang
bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun.
6.
Contoh Kasus
Kronologi Kasus
Kasus antara PT.GPU (Gorby Putra Utama) dengan PT.SKE
(Sentosa Kurnia Energy)
PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang
menyediakan peralatan kebutuhan perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE.
Kasus ini muncul saat keduanya menjalin kerjasama pada bulab maret 2012. Kala
itu, PT.KSE memesan peralatan mesin traktor dan peralatan kebun lainnya dari PT.GPU,
kemudian pada bulan mei tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu datang secara
bertahap dan pada bulan juni 2012 pemesan peralatan mesin perkebunan itu usai
atau telah tuntas. Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september
2012 peralatan mesin perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan.
PT.KSE menuding perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin
perkebunan mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1
tahun. Saat itu PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru
dipakai selama 3 bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di
luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena
kesalahan pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan
desember 2012 PT.KSE pun menggugat ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5
juta atau sekitar Rp 76 miliar ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang
sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.
Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan
gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi
ternyata gugatan itu ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU
memiliki hutang perawatan mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan
tiba-tiba di tengah transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara
sepihak beberapa kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan
perkebunan, padahal peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan
sehingga kerugian di pihak PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah disebabkan
pengingkaran atas perjanjian secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian
masuk hutangnya, dan sudah jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak kunjung
dilunasi oleh PT.GPU hingga pertengahan tahun 2012.
Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh
permasalahan ini mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun
setelah dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara
mendatangi pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon
timbal-balik dari PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan
oleh PT.KSE dengan membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke pengadilan
bisa berbanding terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin menyelesaikan
perkara hutang PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan.
Setelah pihak PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan
ini diserahkan kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H. Menurut Sugeng “PT.GPU
sebagai salah satu perusahaan yang menyediakan peralatan perkebunan, telah
melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk,
tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama
bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun
masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula
Sugeng selaku kuasa hukum PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan,
begitulah, PT.GPU benar-benar dalam keadaan siaga satu.
Analisis Kasus Perseteruan yang terjadi antara PT.GPU
milik perusahaan ternama di bidang peralatan perkebunan dengan PT.KSE tidak
kunjung usai, hal ini disebabkan karena:
1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU
dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak PT.GPU tidak melaksanakan apa
yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar
janji” (wanprestassi).
3. Pihak PT.GPU telah mengadakan
pembatalan pembelian atas pemesanan peralatan mesin perkebunan, padahal
peralatan perkebunan sudah selesai dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal
ini menyebabkan kerugian ratusan juta (tak terhingga) oleh PT.KSE
4. Pembayaran hutang perawatan oleh
pihak PT.GPU yang melampaui tempo yang diperjanjikan.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama
yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi
bisnis berlandaskan i’tikad buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian
diwajibkan atas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan
seksama akan pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah
adanya permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak.
Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE, Sugeng
Riyono S.H, “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan telah
melakukan transaksi hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk,
tidak pernah memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama,
bahkan tiga somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun
masih tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE. I’tikad baik diwaktu
membuat perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beri’tikad baik akan menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak
menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan
kesulitan-kesulitan. I’tikad baik diwaktu membuat perjanjian berarti kejujuran,
maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan,
yaitu suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu pihak dalam hal melaksanakan
apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai dengan Pasal 1338 B.W yang
berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan I’tikad baik. Maka,
sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya pejanjian dilaksanakan
dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang tidak patut atau
sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut. PT.GPU tidak melaksanakan apa
yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar
janji” (wanprestasi). Wanprestasi yang dilakukan PT.GPU merupakan sesuatu yang
disebabkan dengan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana
menurut Subekti, Wanprestasi berarti kelalaian seorang debitur, dalam hal:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan akan
tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE menjadikan
terhambatnya kinerja produksi lain yang akan dibuat oleh PT.KSE. Sesuai dengan
Pasal 1243 B.W yang berbunyi,”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya
perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atas dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya.Disebutkan dalam poin ketiga adalah pihak PT.GPU
telah mengadakan pembatalan sepihak hutang perawatan dan pembelian peralatan
perkebunan sehari setelah peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini
menyebabkan produksi yang akan dibuat oleh PT.KSE menjadi terbengkalai.
Pembatalan ini tanpa ada alasan yang jelas dari PT.GPU.
Ganti rugi yang diterima dari hitungan materil yakni
berupa penyitaan peralatan mesin perkebunan milik PT.GPU yang bernilai Rp18,3
milliar mugkin sudah memadai kerugian yang diderita si berpiutang akibat tidak
dipenuhinya perjanjian oleh si berutang, namun rasa kecewa tidak mungkin dapat
ditebus, sebagaimana PT.GPU yang tidak merespon baik ketika pihak PT.KSE datang
menemui PT.GPU di kantornya untuk menagih utang PT.GPU yang tersendat
menimbulkan dampak pada produksi lain, mengingat hubungan baik PT.GPU dengan PT.KSE
mengundang rasa kecewa dikarenakan akhir cerita kerjasama yang dilakukannya
mengalami permasalahan hukum. Dengan demikian, ganti rugi hanyalah merupakan
“obat” atas derita yang dialami karena apa yang diinginkan itu tidak datang
atau diberikan oleh pihak lawan.
Daftar Pustaka:
·
Katuuk, F.
Neltje. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Universitas Gunadarma